Dalam postingan sebelumnya saya sudah jelaskan bahwa kemampuan menggambar bagi seorang mahasiswa arsitektur, meskipun penting, bukanlah yang utama. Lantas apa yang utama? Jawabannya akan Anda temui di akhir posting ini. Namun sebelumnya, saya ingin menjelaskan bagaimana rasanya menjadi seorang mahasiswa arsitektur.

Bukannya menakut-nakuti, tapi menjadi seorang mahasiswa arsitektur itu bukan perkara yang mudah -kalau tidak bisa dibilang berat. Saya sendiri merasa semester awal bagaikan neraka dunia, stres dengan tugasnya. Saya ingat betul sepupu saya suka mengolok-olok bahwa mahasiswa arsitektur itu kerjaannya sudah seperti anak TK saja, menggambar dan mewarnai. Saya sendiri hanya tersenyum kecut. Kalau saya jadi dia -nonmahasiswa arsitektur-pun, saya mungkin akan berpendapat sama. Sayangnya saya tak bisa tertawa selepas dia kalau sudah bicara soal tugas. Dan saya cukup yakin dia pun juga akan mengalami hal yang sama kalau jadi saya.

Meskipun agak miris mengatakannya, tapi sesungguhnya waktu itu saya termasuk beruntung karena tidak mengikuti UKM apapun dan secara kebetulan ospek jurusan -atau yang biasa disebut pengaderan- juga belum dimulai. Praktis, fokus saya hanyalah kuliah. Tapi, toh tetap saja kuliah keteteran. Prestasi terburuk yang saya catatkan waktu itu adalah mendapat nilai D untuk mata kuliah Perancangan Arsitektur 1, matkul utama yang berbobot 6 SKS. Bayangkan! Nilai D untuk mata kuliah 6 sks! Sontak IP saya jeblok. Meskipun ada dua nilai A, tetap saja nilai saya tidak tertolong karena total dua matkul tadi hanya 5 sks. IP saya pun mandeg di angka 2,58, jauh sekali menyentuh 3,00. Reaksi orang tua? Marah sih tidak, tapi rasanya orang tua, terutama ayah saya, ingin memberikan hukuman yang lebih memberatkan dengan mengungkit-ungkit terus IP yang tidak sampai 3 tadi sepanjang semester 2. Nah, apa nggak tekanan batin coba?
Satu hal bisa Anda anggap aneh dari kasus saya adalah bahwa saya tahu pasti alasan mengapa saya dapat nilai D tadi. Dan saya cukup tahu pasti hal itu bahkan tanpa menanyakannya pada dosen pembimbing. Lalu, sekarang apa yang menjadi gambaran Anda tentang diri saya? Saya tahu kekurangan saya namun tetap gagal. Ya, bisa dibilang saya tidak bekerja cukup keras.

Seperti yang sudah saya bilang, kuliah arsitektur itu bukan perkara mudah. Masa SMA saya, sayangnya, tidak membuat saya cukup tangguh untuk menghadapinya. Orang-orang yang tahu asal sekolah saya mungkin akan silau. Bukannya berniat untuk sombong sih, tapi SMA saya memang cukup terpandang di kota Surabaya, beberapa bahkan menyebut sampai tingkat nasional. Tapi satu hal yang perlu Anda tahu, bahwa tidak semua lulusan sekolah favorit juga mempunyai kecemerlangan yang sesuai pamor sekolahnya. Nah, saya termasuk yang tidak semua itu.

Tahun pertama, saya memang sangat pasif. Hanya sekolah, nongkrong di kelas, lalu pulang. Tidak bergaul sama sekali. Baru beranjak ke kelas dua saya mulai ikut OSIS, lalu kepanitiaan sana-sini. Di sinilah orientasi saya mulai berubah. Saya jadi lebih mengutamakan berbagai kegiatan-kegiatan kepanitiaan dan organisasi dibanding urusan akademik. Tidak sampai keteteran amat sih. Tapi itu kan masa SMA. Bahkan saat saya sengaja tidak mengumpulkan tugas pun nilai sejarah saya tetap keluar dan cukup baik.

Parahnya, kebiasaan tadi terbawa sampai saya kelas tiga. Bahkan, saat kelas tiga ini saya sudah mulai beranggapan bahwa pergi ke sekolah adalah bertemu teman-teman & bersenang-senang. Yang ajaib juga adalah bahwa saya memutuskan untuk baru mengikuti ekskul (atau di sekolah saya disebut SS) pada tahun akhir tersebut. Gara-gara hal itu, meskipun secara tidak langsung, saya melepas bimbingan belajar saya selang beberapa bulan masuk, padahal, biayanya sudah dibayar lunas sampai akhir tahun ajaran (saya merasa berdosa kepada kedua orang tua saya untuk hal ini). Pikiran saya waktu itu hanya satu: lulus UNAS. Saya tidak berharap lulus SNMPTN dan sebagainya karena niatan awal saya waktu itu memang tidak kuliah, lebih tepatnya malas kuliah. Soal sekarang saya malah jadi mahasiswa arsitektur itu ceritanya panjang, tidak usahlah saya ceritakan karena curhat saya barusan pun sudah cukup panjang.

Intinya, kurang lebih masa SMA saya itu ngawur. Maka, begitu saya memasuki dunia perkuliahan, saya tidak siap dan saya hancur. Tugas jarang selesai tepat waktu. Kalaupun selesai, hasilnya asal-asalan karena nggarapnya grasa-grusu. Masuk kuliah sering telat. Bolos? Wah, jangan ditanya, jatah bolos legal saya termanfaatkan dengan baik. Alasannya sih karena waktu bolos tadi saya pakai mengerjakan tugas yang deadline-nya sudah mepet dan belum selesai. Alasan yang lain lagi karena saya telat dan sungkan -malas- untuk masuk kelas.

Faktor penyumbang kegagalan saya yang lain adalah asistensi. Asistensi, boleh saya bilang, merupakan kunci utama suksesnya kuliah. Melalui asitensilah kita bisa mendapat ilmu yang benar-benar bermanfaat sekaligus mengetahui keinginan dosen pembimbing kita. Ini penting karena dosen pembimbinglah yang memberi kita nilai, yang menentukan nasib kita. Ibarat dunia profesional, dosen pembimbing adalah klien kita. Arsitek memang berhak mengeksplorasi ide, kreativitas, serta ego pribadinya dalam desain. Namun, mengesampingkan peran klien dalam proses tersebut hanya akan mebuat Anda menjadi seorang arsitek yang terbuang. Saya sendiri melewatkan banyak asistensi karena di saat yang lain sudah siap membawa gambar, paling tidak sketsa atau materi apa pun untuk diajukan ke dosen asisten, saya tidak memiliki apa-apa. Nol. Bahkan saya sudah terlambat sejak proses pengerjaan.

Masih ada lagi hal lain yang perlu Anda ketahui dan ingin saya ceritakan. Tapi mengingat postingan ini sudah cukup panjang, silahkan tunggu dulu sampai saya menyelesaikan part selanjutnya. Saya tidak memaksa Anda untuk terus membaca postingan saya. Hanya saja, saya rasa cukup sayang bagi Anda untuk melewatkannya.
Bersambung…