Quantcast

Wajah-wajah sumringah itu tidak dapat disembunyikan dari mereka yang memakai pakaian toga, pakaian kebangsaan ketika seseorang dinyatakan menjadi sarjana. Beberapa tahun studi yang dijalani kini berbuah hasil gelar di belakang nama. Buah dari hasil studi yang ditempuh di Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiya aceh. Akankah ia menjadi arsitek yang memiliki komitmen moral dan sosial atau akan menjadi bagian dari arsitek yang melacurkan diri demi uang?

Seperti periode-periode sebelumnya, upacara kelulusan sarjana teknik baru di Jurusan Arsitektur Unmuha berlangsung meriah. Makanan dari katering mewah, musik-musik pengiring, hiasan-hiasan ruangan, sambutan-sambutan meriah, bahkan hingga hal-hal yang kadang tidak penting seperti seragam panitia hingga atribut-atribut yang akan di berikan kepada sarjana. Semua civitas akademika berpadu, bersorak sorai, menikmati pesta. Tampak tidak peduli dengan lingkungan sekitar dengan kondisi yang sangat malang. Seakan-akan hal ini adalah suatu warisan budaya yang mesti dipertahankan. Atau mungkinkah ini adalah cerminan kehidupan individu-individu di dalamnya?

Tak dapat dipungkiri, masalah arsitektur adalah masalah setiap orang. Siapa yang dapat menghindarkan diri untuk tidak melihat, merasakan, menikmati dan menggunakan karya arsitektur? Setiap hari manusia memanfaatkannya sejak terbangun dari tidur hingga kembali ke peraduan. Ke kampus, ke kantor, ke toko, ke pasar, ke tempat rekreasi, kemanapun juga kita pergi mau tidak mau harus berhadapan dengan arsitektur. Suka atau tidak suka. Karena arsitektur adalah perwujudan budaya, pengejawantahan dan wadah aktivitas kehidupan sosial, ekonomi. Sebuah karya fisik yang terbentuk oleh tangan manusia secara menyeluruh dan mencakup semua unsur kehidupan.

Kepekaan sosial, penghayatan yang mendalam dan keterlibatan yang tuntas dari para arsitek terhadap denyut nadi yang berdetak dari masyarakat sekitarnya, menjadi syarat mutlak terciptanya suatu lingkungan yang mampu mewadahi persepsi dan aspirasi masyarakat. Tetapi bagaimana dengan ungkapan bahwa Arsitek adalah profesi yang melacurkan diri demi penguasa, produk bahan bangunan dan langganan, demi uang. Mengorbankan ilmu demi klien?

Lihatlah lingkungan di sekitar kita. Produk lingkungan buatan yang diarsiteki umumnya adalah bangunan-bangunan mewah, indah dengan material mahal dan tentu saja dengan harga jualnya pun tinggi. Seolah-olah arsitek memang di daulat hanya untuk merencanakan bangunan-bangunan semodel real estate, mall, apartemen, kondominium, perkantoran dan ragam bangunan mewah bahkan supermewah lainnya.

Tampaknya, arsitek sendiri yang seolah sengaja mencitrakan diri demikian. Mereka lebih berorientasi melayani kelas menengah atas, penguasa dan konglomerat. Orientasi ini memperoleh lahan yang kondusif dalam iklim kapitalistik dan ekonomistik. Akibatnya, sosok arsitek yang mengemuka direduksi sekedar menjadi komoditas ekonomi.

Realitas ini tidak muncul dengan sendirinya. Persoalannya memang terletak pada komitmen moral dan sosial kalangan dosen yang notabene adalah arsitek itu sendiri. Dosen yang lebih dulu mengenyam kehidupan kapitalistik di luar, membawanya ke dalam lingkungan pendidikan. Virus materialistik yang menggedor naluri hedonistik pun di tulari kepada mahasiswa yang belum tahu godaan itu.

Mahasiswa di tulari dengan virus tersebut dengan memberikan proyek-proyek hingga membawanyanya ke pola tingkah laku hedon. Hegemoni ini semakin tidak mampu dinafikan karena tidak ada kuasa lain yang bisa menekannya, kuasa yang berasal dari lembaga kemahasiswaan.

Lembaga kemahasiswaan arsitektur tidak mempunyai sikap kritis dengan peradaban yang terjadi di lingkungan pendidikannya. Seolah-olah semuanya adalah wajar dan sepatutnyalah seperti itu. Mahasiswa sebagai agen sosial dan agen perubah tidak termaktub dalam tingkah laku dan program kerjanya. Mereka kalah dan tak mampu menyuarakan kalangan tertindas akibat kuasa ekonomi.

Organisasi kemahasiswaan jurusan arsitektur, khususnya di Universitas Muhammadiyah lebih senang mengadakan lomba-lomba design, karikatur, menggambar dan mewarnai. Bahkan kegiatan-kegiatan itu dengan angkuhnya di adakan di campus seolah mempatenkan diri sebagai manusia hedon. Para mahasiswanya pun tampil dengan pakaian yang bagi mereka modern.

Mereka tidak peduli dengan bencana-bencana yang terkait dengan masalah arsitektur. Mereka tidak acuh dengan kebakaran yang mengorban beberapa rumah, mereka terlihat cuek dengan gempa bumi yang merobohkan puluhan bangunan bahkan mereka tutup mata dengan lingkungan kumuh yang merajalela di setiap sudut kota banda aceh.

Organisasi kemahasiswaan di lumpuhkan oleh prilaku birokrat hingga tak mampu membawa anggotanya, mahasiswa, calon arsitek, untuk memiliki komitmen moral dan sosial yang tinggi. Lembaga kemahasiswaan tidak membawa mahasiswa untuk bersifat aktif menghampiri masyarakat miskin. Hingga mahasiswa pun terbawa arus untuk mengerjakan proyek dosen yang bisa menebalkan kantong tetapi membutakan hati.

Bukankah jauh lebih berguna jika lembaga kemahasiswaan memberikan layanan gratis konsultasi arsitektur pada masyarakat miskin. Atau bahkan terjun langsung membenahi lingkungan hunian kumuh. Mereka tidak sekedar memberi konsultasi teknis, tapi lebih jauh lagi membangkitkan semangat, kesadaran dan penyadaran diri, serta keswadayaan masyarakat miskin agar menciptakan lingkungan yang kondusif. Bukan hanya untuk memperbaiki lingkungan fisik huniannya, tapi juga lingkungan sosial-ekonominya. Jika dosen sibuk dengan proyek mewah dan supermewahnya mengapa mahasiswa tidak mencoba terjun dalam sisi yang berbeda, membangun masyarakat yang tak pernah tersentuh tenaga arsitek profesional!

Menjadi arsitek dengan tanggung jawab moral dan sosial yang tinggi atau menjadi seorang arsitek yang melacurkan ilmu demi uang pada akhirnya menjadi pilihan setiap individu. Tetapi bila lembaga kemahasiswaan juga menawarkan kehidupan hedonis dalam program kerjanya dan minim akan tanggung jawab sosial, mungkin hanya segelintir mahasiswa yang akan memilih untuk memiliki komitmen moral dan sosial.